Renungan "Jangan Simpan Kesalahan Orang Lain Kepada Kita, Maafkanlah dia! "
Suatu hari saat pulang dari sekolah, tingkah si Babang tiba-tiba menjadi pendiam, murung, dan lesu.
Sang Bunda, walaupun sedikit khawatir tapi tahu bahwa tidak lama kemudian anaknya pasti akan bercerita kepadanya.
Benar saja. Malam hari saat sekeluarga bersantai, si Babang menghampiri Bundanya dengan gontai dan berkata, ”Bu, tadi di sekolah aku dipanggil oleh pak guru ke ruangannya. Gara-garanya begini. Bunda jangan marah dulu ya…?”
Sang Bunda menjawab sabar, ”Ya. Memangnya ada apa, Nak? Bunda akan mendengarkan.”
”Tadi ada teman perempuan menangis gara-gara diejek si Topan.. teman yang sering main kemari itu lho Bunda. Temanku yang diejek itu, Ayu, lapor ke guru. Nah terus Topan dipanggil ke ruang guru.”
Si Babang melanjutnya ceritanya. “Bunda, Si Topan mengadu ke pak guru kalau aku yang mengajari dia mengejek dan berbicara dengan kata-kata kotor. Aduh Bunda, dia benar-benar keterlaluan. Memfitnah itu namanya. Bunda enggak percaya kan kalau aku yang mengajari Topan begitu? Benar deh Bunda, aku tidak pernah begitu ke dia!”
“Keluar dari ruang guru, di depan kelas, Topan menangis Bunda. Dia menyalahkan aku di depan kawan-kawan. Katanya gara-gara aku, dia kena hukuman!” Begitulah, dengan nada berapi-api si Babang melepas uneg-unegnya.
Keesokan harinya dan beberapa hari berikutnya, kasus masih berlanjut. Beberapa teman menjauhi si Babang karena justru dia yang dituduh sebagai biang kerok, penjahatlah, penyebar fitnah, dan lain-lain. Beberapa teman pun menyalahkan si Babang, bahkan menyuruhnya minta maaf kepada Topan.
”Sungguh tidak adil, aku yang enggak salah, kok aku yang disuruh minta maaf…?” kata si Babang mengeluh ke Bundanya.
Ayahnya yang diam-diam mengikuti kisah putranya, memutuskan saatnya berbicara. ”Nak, kalau kamu merasa benar, tetap pegang kebenaranmu itu. Tetap berbuat dan berkata yang positif. Ayah yakin, sikap teman-temanmu itu hanya sementara saja. Nanti mereka pasti tahu siapa yang punya kualitas yang baik. Nah temanmu Topan, berbuat salah. Tidak ada salahnya, kan, kamu memaafkan dia?”
”Dia sudah begitu menyakiti aku. Apa untungnya memaafkan dia?” tanya si Babang penasaran.
”Lho, lalu apa ruginya memaafkan dia?” jawab ayah sambil tersenyum. ”Coba perhatikan. Sejak kejadian itu, setiap hari kamu menggerutu melulu. Kamu merasa sebal, marah-marah, tidak konsentrasi belajar, dan tidak bahagia. Nah, apa untungnya kamu seperti itu? Maafkan Topan dan kembali bersikap seperti dulu lagi. Orang serumah bahagia. Kamu juga kembali gembira. Nah enggak rugi kan memaafkan itu? Damai dan nyaman bagi semuanya.”
Kesalahan orang kepada kita, apapun bentuknya, jika terus kita simpan dan pikirkan, maka hati akan terus terasa panas alias bad mood. Konsentrasi kita di pekerjaan atau sekolah pun pasti akan terganggu. Tiba-tiba, kita menjadi mudah jengkel dan marah-marah terhadap hal lain yang mungkin tidak terkait sama sekali, seperti keluarga atau sahabat terkasih.
Sang Bunda, walaupun sedikit khawatir tapi tahu bahwa tidak lama kemudian anaknya pasti akan bercerita kepadanya.
Benar saja. Malam hari saat sekeluarga bersantai, si Babang menghampiri Bundanya dengan gontai dan berkata, ”Bu, tadi di sekolah aku dipanggil oleh pak guru ke ruangannya. Gara-garanya begini. Bunda jangan marah dulu ya…?”
Sang Bunda menjawab sabar, ”Ya. Memangnya ada apa, Nak? Bunda akan mendengarkan.”
”Tadi ada teman perempuan menangis gara-gara diejek si Topan.. teman yang sering main kemari itu lho Bunda. Temanku yang diejek itu, Ayu, lapor ke guru. Nah terus Topan dipanggil ke ruang guru.”
Si Babang melanjutnya ceritanya. “Bunda, Si Topan mengadu ke pak guru kalau aku yang mengajari dia mengejek dan berbicara dengan kata-kata kotor. Aduh Bunda, dia benar-benar keterlaluan. Memfitnah itu namanya. Bunda enggak percaya kan kalau aku yang mengajari Topan begitu? Benar deh Bunda, aku tidak pernah begitu ke dia!”
“Keluar dari ruang guru, di depan kelas, Topan menangis Bunda. Dia menyalahkan aku di depan kawan-kawan. Katanya gara-gara aku, dia kena hukuman!” Begitulah, dengan nada berapi-api si Babang melepas uneg-unegnya.
Keesokan harinya dan beberapa hari berikutnya, kasus masih berlanjut. Beberapa teman menjauhi si Babang karena justru dia yang dituduh sebagai biang kerok, penjahatlah, penyebar fitnah, dan lain-lain. Beberapa teman pun menyalahkan si Babang, bahkan menyuruhnya minta maaf kepada Topan.
”Sungguh tidak adil, aku yang enggak salah, kok aku yang disuruh minta maaf…?” kata si Babang mengeluh ke Bundanya.
Ayahnya yang diam-diam mengikuti kisah putranya, memutuskan saatnya berbicara. ”Nak, kalau kamu merasa benar, tetap pegang kebenaranmu itu. Tetap berbuat dan berkata yang positif. Ayah yakin, sikap teman-temanmu itu hanya sementara saja. Nanti mereka pasti tahu siapa yang punya kualitas yang baik. Nah temanmu Topan, berbuat salah. Tidak ada salahnya, kan, kamu memaafkan dia?”
”Dia sudah begitu menyakiti aku. Apa untungnya memaafkan dia?” tanya si Babang penasaran.
”Lho, lalu apa ruginya memaafkan dia?” jawab ayah sambil tersenyum. ”Coba perhatikan. Sejak kejadian itu, setiap hari kamu menggerutu melulu. Kamu merasa sebal, marah-marah, tidak konsentrasi belajar, dan tidak bahagia. Nah, apa untungnya kamu seperti itu? Maafkan Topan dan kembali bersikap seperti dulu lagi. Orang serumah bahagia. Kamu juga kembali gembira. Nah enggak rugi kan memaafkan itu? Damai dan nyaman bagi semuanya.”
Kesalahan orang kepada kita, apapun bentuknya, jika terus kita simpan dan pikirkan, maka hati akan terus terasa panas alias bad mood. Konsentrasi kita di pekerjaan atau sekolah pun pasti akan terganggu. Tiba-tiba, kita menjadi mudah jengkel dan marah-marah terhadap hal lain yang mungkin tidak terkait sama sekali, seperti keluarga atau sahabat terkasih.